Di era modern pengembangan perangkat lunak, banyak perusahaan beralih dari arsitektur monolitik ke aplikasi microservices. Microservices menawarkan fleksibilitas, skalabilitas, dan kemampuan deployment yang lebih cepat. Namun, tidak sedikit tim developer yang terburu-buru melakukan migrasi ke microservices tanpa melakukan persiapan dan optimasi terlebih dahulu pada aplikasi yang sudah ada.
Migrasi ke arsitektur microservices bukanlah sekadar keputusan teknis, melainkan sebuah transformasi besar yang melibatkan perubahan dalam logika aplikasi, infrastruktur, dan budaya pengembangan. Sebelum mengambil langkah besar ini, penting bagi perusahaan dan tim pengembang untuk melakukan optimasi menyeluruh pada aplikasi yang masih berbasis monolitik. Artikel ini akan membahas langkah-langkah strategis untuk mengoptimalkan aplikasi sebelum benar-benar beralih ke microservices.

1. Perbaiki Logika Aplikasi
Langkah pertama sebelum memecah aplikasi ke dalam layanan-layanan kecil adalah memastikan bahwa logika aplikasi saat ini berjalan dengan efisien dan konsisten. Aplikasi yang memiliki logika kompleks dan saling bergantung akan sulit untuk dipisah menjadi microservices.
Tinjau ulang setiap modul dan identifikasi bagian mana yang bisa dipecah berdasarkan domain bisnis atau fungsionalitas tertentu. Jika memungkinkan, gunakan prinsip Separation of Concerns (SoC) untuk membagi kode agar lebih modular dan terorganisir. Refactor bagian-bagian kode yang masih bersifat “spaghetti code” agar lebih mudah dipetakan ke dalam service-service yang independen nantinya.
2. Bersihkan Dependensi yang Tidak Diperlukan
Selama bertahun-tahun pengembangan, aplikasi monolitik sering kali menumpuk banyak dependensi yang tidak lagi relevan. Dependensi ini bisa berupa library, modul eksternal, atau konfigurasi yang tidak aktif.
Membersihkan dependensi yang tidak digunakan akan menyederhanakan struktur aplikasi, mengurangi ukuran build, serta mempermudah proses debugging dan deployment. Gunakan alat analisis statis dan dependency tree untuk mengidentifikasi dan menghapus dependensi yang tidak diperlukan.
3. Aktifkan Server-side Caching
Caching adalah salah satu strategi optimasi yang paling efektif untuk meningkatkan performa aplikasi. Dengan mengaktifkan server-side caching, aplikasi dapat mengurangi beban ke database atau service lain yang membutuhkan waktu respons tinggi.
Gunakan teknologi seperti Redis atau Memcached untuk menyimpan data yang sering diakses. Terapkan strategi caching berdasarkan kebutuhan, seperti caching berdasarkan waktu (TTL), caching berdasarkan permintaan, atau invalidasi cache secara manual ketika data diperbarui. Caching yang baik akan membantu mengurangi latency dan meningkatkan scalability sebelum masuk ke microservices.
4. Optimasi Kueri Database dan Indexing
Sering kali performa buruk dalam aplikasi berasal dari kueri database yang tidak efisien. Sebelum memecah aplikasi menjadi microservices, penting untuk mengaudit dan mengoptimalkan semua kueri SQL yang digunakan. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Menggunakan EXPLAIN PLAN untuk mengevaluasi performa kueri.
- Menambahkan index pada kolom-kolom yang sering digunakan dalam WHERE, JOIN, atau ORDER BY.
- Menghindari SELECT * dan memilih hanya kolom yang dibutuhkan.
- Memecah kueri kompleks menjadi beberapa kueri yang lebih sederhana.
Dengan optimasi ini, setiap komponen aplikasi akan lebih stabil dan tidak akan menjadi bottleneck saat dipindahkan ke arsitektur microservices.
5. Buat Proses Menjadi Asynchronous
Salah satu ciri khas dari arsitektur aplikasi microservices adalah kemampuannya untuk menangani proses secara asynchronous. Sebelum masuk ke tahap ini, aplikasi monolitik harus mulai mengimplementasikan sistem asynchronous, terutama untuk proses yang berat atau tidak perlu dieksekusi secara langsung (real-time). Contohnya:
- Menggunakan message queue seperti RabbitMQ atau Kafka.
- Menjalankan batch job untuk proses yang berjalan di background.
- Menggunakan worker untuk menangani proses-proses seperti pengiriman email atau pembuatan laporan.
Dengan pendekatan ini, sistem menjadi lebih tangguh dan scalable, serta siap menghadapi kompleksitas dari arsitektur microservices.
6. Terapkan Strategi Command Query Responsibility Segregation (CQRS)

CQRS adalah pendekatan arsitektur yang memisahkan operasi baca (query) dan tulis (command) dalam sistem. Meskipun CQRS lebih umum digunakan dalam aplikasi berbasis microservices, prinsip ini juga sangat bermanfaat dalam aplikasi monolitik yang ingin dipersiapkan untuk transisi. Dengan menerapkan CQRS:
- Query dapat dioptimalkan untuk performa pembacaan data.
- Command dapat fokus pada logika bisnis dan validasi data.
- Struktur kode menjadi lebih jelas dan maintainable.
CQRS membantu dalam memahami batas-batas domain aplikasi dan memperjelas titik pemisahan antar service di masa mendatang.
Kesimpulan
Migrasi ke arsitektur aplikasi microservices memang menawarkan banyak manfaat, namun juga membawa tantangan yang signifikan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan optimasi menyeluruh terhadap aplikasi monolitik sebelum transisi dilakukan. Mulai dari memperbaiki logika aplikasi, membersihkan dependensi, menerapkan caching dan optimasi database, hingga mengadopsi prinsip asynchronous dan CQRS.
Perlu diingat bahwa keputusan untuk migrasi ke microservices bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan organisasi. Arsitektur ini dirancang agar modul dan service dapat ditangani oleh tim-tim kecil yang fokus pada domain tertentu. Tanpa kesiapan organisasi dan pembagian kerja yang matang, implementasi microservices dapat menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.
Dengan langkah-langkah ini, tim pengembang akan memiliki fondasi yang kuat dan kesiapan teknis yang memadai untuk membangun aplikasi microservices yang stabil, scalable, dan mudah dipelihara. Alih-alih tergesa-gesa, pendekatan yang terstruktur akan membawa kesuksesan jangka panjang dalam implementasi microservices di perusahaan Anda.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.